Pages

Sunday 3 May 2015

Bandung pada Pandangan Pertama

Setelah beberapa bulan proses pengamatan dan aklimatisasi,  akhirnya saya punya keinginan lagi untuk menulis. Untuk saat ini, Bandung punya segala yang hati saya butuhkan. Hawa yang bersahabat, juga rintik hujan yang seringkali lembut. ya, hujan kerap mengguyur kota ini semenjak kepindahan saya pada bulan Januari kemarin. Saya resmi menjadi kaum migran di Bandung. Untungnya, ini bukan kali pertama saya menetap cukup lama di sebuah kota yang asing. 

Pagi, siang, dan sore hari di Bandung tahun 2015. Panas dan macet. Dua kata ini mulai akrab digunakan untuk menggambarkan kondisi Bandung pada hari kerja. Namun, mengingat dikenalnya kota ini sebagai destinasi wisata dan kota belanja, dua kata tersebut juga tetap berlaku di hari libur. Akibat pembangunan dan persebaran penduduk yang tidak merata, "Jakarta syndrome" mulai merambat ke banyak kota. Dua di antaranya adalah di Surabaya dan kali ini Bandung.  

Sebagai orang baru, terus terang saya tak bisa menggunakan kata macet dan panas untuk menggambarkan kota Bandung. Pertama, karena hawa di Surabaya bisa lebih panas berkali-kali lipat. Dan kedua, karena saya sangat jarang membawa kendaraan menyusuri kota. Yang pasti, sebagai orang yang cukup lama ditempa perlintasan kota Surabaya, jangan bandingkan kondisi lalu lintas di Bandung dengan Surabaya. Pokoknya jangan. Netizen Surabaya bisa kelewat bangga.

Tapi ingat, Tuhan menciptakan Bandung sambil tersenyum. Jika ada bagian yang dikurangkan, selalu ada bagian yang dilebihkan. Karena cuma di Bandung saya bisa tetap nyaman menghadapi macet. Inspirasi bertebaran di mana-mana. Cukup memanjakan mata para pujangga dan entrepreneur. Di tempat seperti ini, para penakluk seperti Bruce Wayne dan Tony Stark bisa lahir, tinggal, dan menetap. 

***

Bandung di gelap malam. Lampu kota serentak dinyalakan. Di tiap gang kecil yang dilewati sungai, geliat kehidupan begitu kentara. Para perantau mengistirahatkan sekejap mimpinya dari degup yang keras seharian. Dering alat komunikasi terdengar di sana sini. Jarak tertebas. Uang jajan tertindas.

Di jalanan Dago yang riuh oleh deru mesin dan pendatang, ibu-ibu penjaja bunga ramai berjejer di tepian. Selalu ada mawar putih segar tiap Sabtu malam. Tak perlu takut kehabisan. Semua bisa kebagian. Semua bertebaran atas nama cinta.

Di Bandung, tak perlu merasa rendah pada kesiapan, tak perlu takut pada kesepian. Karena ciptaan Tuhan yang patut ditakuti hanya.. 



waktu.