Pages

Thursday 18 April 2013

Jarak dan sebaris pesan

Minggu ini salah satu kawan saya akan menjalani sebuah ritual kedewasaan. Menjadi seorang pangaranto seperti halnya anak lelaki berdarah Batak lainnya. Sebut saja namanya Lugar (nama sebenarnya). 

Saya dan Lugar pertama bertemu pada tahun 2004 sebagai kawan sekelas saat SMA. Dan 3 tahun setelahnya kami dipertemukan lagi, kali ini di universitas dan jurusan yang sama. Tapi terhitung minggu ini, akhirnya kami berada di jalur yang berbeda. Sama seperti nominal angka pada umur kami. Saya masih berkutat dengan tugas akhir kuliah, sedangkan Lugar yang baru saja di wisuda Maret lalu akan meniti karir di Pontianak.

Saya mengenal lelaki berpostur "sedikit melebar" ini sebagai satu-satunya kawan yang hampir sangat tidak mungkin memperlakukan wanita dengan cara yang salah. Mutlak. Gurunya adalah sang kehidupan itu sendiri. Bersama ke empat sahabat saya semasa kuliah, kami mengenalnya sebagai seorang lelaki yang sangat sayang pada keluarga. Terutama pada Ibunya, Lugar tidak lagi bisa disebut patuh, lebih dari itu, dia hormat dan tunduk. Saya mengetahui benar bagaimana kawan saya tersebut kerap tidur larut demi membantu ibunya berjualan, mencari nafkah. Jika benar kedudukan Tuhan dan seorang Ibu hampir setara, maka jelas hanya soal waktu hingga dunia pun tunduk pada kaki kawan saya yang satu ini.

Beberapa malam ini dia gundah, minggu ini dia harus bersiap melepas apa yang telah melekat dalam hidupnya. Jauh dari rumah, jauh dari peradaban mega polutan. Tapi seperti hal sederhana lainnya, seorang Ibu tak akan lupa mengucapkan nama anak-anaknya dalam do'a. Begitu pula dengan kami kawan-kawan yang akan bergantian atau secara bersama-sama akan menggoda pemuda tambun ini sesekali waktu lewat perangkat seluler.








 being grown up...












seorang motivator ulung acap kali berucap,

"takkan lahir pelaut ulung dari laut yang tenang."

Ada sebuah filosofi kuno yang kerap diucapkan orang tua dari tanah Batak. anakkonhi do hamoraon di au atau secara sederhana dapat diartikan "anaklah kekayaanku". Akan tiba masanya, hal ini akan lebih dari kita pahami. Maka jaga dirimu di sana kawanku dan semoga berhasil di perantauan. Tahun ini mudah-mudahan aku menyusul pergi. Selamat menjalani hidup baru.

p.s.:
*Pangaranto = Merantau = pergi ke negeri lain (untuk mencari penghidupan, ilmu, dsb); pergi mencari penghidupan ke tempat yg tidak berapa jauh;

Wednesday 17 April 2013

satu hari

***
Surabaya. Pagi itu matahari masih muncul dari ufuk Timur. Sinarnya lemah, nyaris gemulai. Alih-alih terasa hangat, angin menindih embun yang dingin, berhembus perlahan melalui celah-celah kaca jendela. Merambati buku-buku, kertas, dan Kitab Suci yang mulai berdebu. Angin bertiup sekali lagi, menegaskan bahwa pagi baru akan dimulai pukul 10.00.
***
Kamar mandi. Tuts piano dan senar gitar bergantian mengalun. Menggema di antara keramik dan ruang yang  tersentuh air. Pada bak mandi dan gayung, pada odol, sikat gigi, botol shampo, sabun, dan salah satu hal terpenting dari sebuah kamar mandi, "kloset" yang bersih. 

Burung gelatik jawa bercicit pelan dan ritmis di seberang jendela. Bertengger di dahan pohon Mangga berumur 8 Tahun yang jarang berbuah. Berisik yang menenangkan. Seperti dengkur halusmu saat terlelap di pundakku. Sedang langit serupa beludru abu-abu. Petir menggelegar malu-malu. Gerimis luruh. Hingga pukul Tujuh.
***
Perjalanan. Deru piston dari "kuda plastik dan besi" memenuhi media udara. Asap hitam dan putih membaur bersama ras Mongoloid, Kaukasoid, dan Australoid. Anak-anak kecil berseragam putih merah, biru, dan abu-abu mulai membanjiri sekolah. Truk-truk besar terparkir di pom bensin memasuki waktu tunggu. Pinggir sungai gunung sari tak lekang dari hilir mudik orang-orang separuh baya. Benang, mata kail, dan jaring-jaring di genapi dengan jampi dan do'a do'a para pemancing. Jalanan aspal yang sepi dan basah seketika riuh. Bebunyian pagi yang syahdu menjadi kumuh.
***
Muda-mudi berpenampilan parlente tampil di panggung hiburan. Entah terlahir dari idealisme macam  apapun, semua memperjuangkan nasib yang sama di kota mega polutan. "Demi sesuap nasi dan sesendok berlian" - filosofis sekali.

Kampus. Kantor. Meja kerja dengan dokumen dan berkas-berkas. Serta sebuah komputer dengan walpaper dekstop berlatar pantai berpasir putih. Cita-cita hadir di sana. Penjelajahan. Namun di bawah keteduhan sebuah korporasi, seluruh cita-cita pada akhirnya menuju tujuan yang sama. Penjajahan. Ambil semua pangsa, hingga terlalu sedikit kelak yang akan tersisa. Malam datang.
***
Petang. Jalan pulang. Langit memerah. Emas dan jingga tercampur paripurna. Keruh jelaga pamit pada langit sore. Pesan singkat di perangkat seluler tertulis jelas sebuah nomer dan nama. Rumah. Kamu. Cinta.
***
waktu terbelah, Bulan merekah. Kegelapan merayap perlahan. Dari sebuah bayangan gubuk yang timpang, lantas menyebar. Menutupi sela-sela dahan pohon trembesi, gedung-gedung tinggi, hingga sebuah bangunan yang tersusun dari darah, tulang, daging, dan harapan manusiawi.
***
Kamar dengan cahaya lampu Philips 14 watt. Seprei putih dan bedcover biru langit berkerut menyesuaikan bentuk tubuh keturunan Adam dan Hawa. Di ujung ruangan yang menghadap barat, tergeletak secarik perkamen usang berisi sajak dan puisi, juga selembar foto tak bernyawa di pinggir meja.
 ***
terpejam. bermimpi. barisanhurufhuruftaklagiberspasi.

Monday 1 April 2013

membela harga diri

"berkatalah sesukamu, karna diam bisa merupakan sebuah jawaban". kata imam al ghazali

Libur panjang baru saja usai. Kesalahan saya adalah menghajar diri dengan mangkuk-mangkuk es dan angin malam selama beberapa hari. Ini adalah hari kesekian dari "semester akhir", semester berjalan telah memasuki awal bulan April. Skripsi saya stuck ditempat yang sama sejak pertengahan bulan kemarin. Satu hari hanya dua kalimat yang berubah. Benar, moody bukan sebuah sifat yang baik. Banyak orang menganggap sifat tersebut menjadikan penderitanya kerap menunda-nunda, atau bahasa kerennya procrastination. Ditambah kondisi tubuh yang kembali drop, lengkaplah sudah excuse yang saya buat minggu ini. Mental seniman, tanpa mood yang baik, tak ada karya yang baik. 

Menunda menyelesaikan skripsi bisa dikatakan sebagai salah satu dosa besar seorang mahasiswa, selain jatuh cinta pada dosen separuh baya yang punya anak. Bisa semakin besar jika ternyata mahasiswa tersebut adalah anak pertama, minim pengalaman organisasi, tak ada pekerjaan sambilan, dan memiliki adik yang semestinya menjadikan kakak sebagai sosok panutan. Banyak cara untuk melarikan diri dari tanggungan seperti ini. Menciptakan alasan itu mudah, tapi memilih diam bukan sebuah hal yang sederhana. 

Dalam kondisi perut yang sedang lapar ini, saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa yang disebut zona nyaman itu? apakah sebuah tindakan mengesampingkan atau menomorduakan hal yang mendesak dapat disebut sebagai sebuah kondisi menciptakan zona nyaman? jika demikian, maka uang, kesibukan, pundak kekasih, bahkan perjalanan mencari eksistensi tentu "bisa saja" dikatakan sebagai zona nyaman, bukan begitu? ("bisa saja" di sini berarti syarat dan ketentuan berlaku.)

Banyak dari kita acapkali berteriak lantang menuntut hak hingga lupa pada kewajiban. Menyikapi hal ini bukankah dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seseorang manusia itu selalu menghendaki rasa aman dan nyaman? bukankah hal tersebut juga mendandakan bahwasannya tidak ada seorang manusia yang tak menghendaki berada dalam zona nyamannya?

Bagi saya, diam bukan menjadikan kita berada pada sebuah zona nyaman. Dengan diam, kita berpikir ulang, memaksa kita lebih kuat dari batu karang karna harus melawan keinginan-keinginan. Konon cobaan paling berat adalah melawan diri sendiri dan diam juga dapat dikatakan sebagai usaha untuk melawan keinginan-keinginan untuk melarikan diri. Tak pernah ada yang sederhana dalam sebuah "diam". Lihat saja kedahsyatan efeknya jika dilakukan kekasihmu.

Diam memaksa kita berkontemplasi. Tindakan tersebut membutuhkan keberanian yang konsisten. Melawan keinginan-keinginan yang semestinya berada di nomer dua, melawan ego, dan pada akhirnya memaksa kita melawan ketakutan-ketakutan. Kontemplasi tak pernah bisa terjadi saat suasana riuh. Tak ada ruang bedah yang berisik, begitu pula kondisi di goa Hiro, Gunung Sinai, Bukit zaitun, perut Paus, dan padang pasir yang tandus.

***

Rasanya tidak pantas, bahkan hanya untuk mencoba lari dari tanggung jawab yang seharusnya kita selesaikan. Di sepertiga malam seperti ini, saya juga berpikir, apa benar menyelesaikan skripsi itu cuma butuh konsistensi? lantas dari mana konsistensi itu bisa hadir? dari keinginan dihargai dengan titel dan selembar ijasah? dari omelan orang tua / kekasih? atau kita juga perlu sebuah inspirasi?

ya, kadang kita mudah sekali merasa terinspirasi, tapi inspirasi juga dapat bermetamorfosa menjadi noise dan distorsi atas segala kewajiban yang semestinya lebih dulu kita tuntaskan. Inspirasi harusnya menjadi booster untuk menuntaskan apa yang telah kita mula, bukan menjadikannya alasan untuk tidak konsisten terhadap apa yang seharusnya segera kita selesaikan. 

jika begitu adanya, maka konsistensi juga butuh keberanian dan hanya seorang pengecut yang tak bisa konsisten. Kalau makan saja masih dari keringat orang tua, maka selesaikan skripsimu kisana. 

"baiklah, skripsi ini akan saya sentuh lagi setelah saya masak indomie untuk sahur,, egh atau mungkin setelah subuhan deh baru saya kerjakan lagi."
dasar bebal.