Pages

Wednesday 25 December 2013

Jurnal harian di telepon seluler

Mimpi dan keinginan ini pernah seakan mengiba. Merengek minta dimakamkan dengan layak. Begitulah yang terjadi beberapa minggu ini. Hidup adalah tentang bagaimana menghadapi kejutan-kejutan. Dan hingga tulisan ini dibuat, hutang penantian, perhatian, waktu, dan doa dari orang-orang itu belum juga terlunasi. Kata siapa mimpi dan keinginan sederhana tak butuh biaya dan pertaruhan-pertaruhan?

Beberapa minggu telah berlalu begitu saja tanpa sunyi juga puisi. Ritual ibadahpun pernah sempat terbengkalai atas nama totalitas dan kecemasan berlebih. Penyakit lama itu masih sering kumat. Namun, nominal beberapa digit angka juga akhirnya mampir ke buku tempat keinginan tertunda atau jadi kenyataan (Buku tabungan saya). Hasil basa-basi, tersenyum, dan mencoba ramah di sana-sini ternyata membuahkan hasil juga (walaupun terlihat kecil kata sebagian orang). Namun yang terpenting, saya belajar bahwa
  1. Mendiamkan lamunan dan hal-hal negatif  di dalam kepala dengan mulut adalah pekerjaan yang sia-sia. 
  2. Yang membedakan seorang sarjana dan tidak adalah keinginan untuk tau, untuk mau belajar, untuk berani melawan ketakutan dan segala kekhawatiran. Absolut. Konkrit. Tak terbantahkan.
  3. Diam bisa menjadi senjata yang mematikan.
Setelah beberapa jam "glibukan surfing di lini masa" entah kenapa saya baru tersadar bahwa ada kemajuan-kemajuan yang telah saya capai. Pada hitam di atas putih saya mencoret beberapa daftar kata dalam "to-do-list" dan "Resolusi tahun 2013". Catatan hitam di atas putih tersebut tak lagi menguap jadi kata-kata fantastis di tempat sampah seperti yang terjadi 2 tahun lalu. Jurnal harian saya tak lagi jadi sekedar keluh kesah, namun menjadi sebuah wadah untuk menuangkan hal-hal berlebihan yang tak perlu saya simpan lama di otak. Saya menemukan sunyi dalam suara berisik. 


oh iya, hujan sudah mulai sering mampir di ujung kota, di perempatan lampu merah.........
Tunggu.. kenapa mulai lagi menciptakan kata-kata puitis? 

*post-sciptum: rangkuman catatan harian tertanggal 18 november - 25 Desember 2013

Friday 15 November 2013

Hujan ber-(p)ulang

Sore ini hujan malu-malu mampir ke genting rumah. Satu persatu tetes airnya menuju tanah. Tak lama, sekrup-sekrup berjalan di kota bergegas pulang. Menuju tempat yang mereka sebut rumah.

Para manusia yang jatuh cinta acapkali mengartikan rumah sebagai tempat di mana hatinya serasa utuh dan lengkap. Rumah menjelma sebagai tempat di mana hati kekasihmu yang maha putih dan berkilau menanti sebagian jiwanya. Menantimu.

***

17.00. Hujan mulai menderas. Kau mempercepat langkahmu pulang. Mana peduli kau pada apapun di jalan. Mana peduli kau dengan seseorang yang cemas menunggu angkutan kota yang berjalan lambat dan seringkali berhenti secara brutal.

17.30. Kau menderu kuda besimu tanpa peduli pada apapun kecuali suara kekasih yang kelak menyambutmu datang. Di jalanan yang mulai memadat, siluet bau pisang goreng yang baru saja matang tiba-tiba memenuhi kepalamu. Lantas diteruskan oleh bau harum sabun dan shampo yang selalu di pakai kekasihmu. Dan ilusi tersebut lantas akan diakhiri oleh relik bau khas liur juga keringatmu yang menempel di bantal, guling, dan kasur. Bau yang tiba-tiba begitu kau rindu selain kekasihmu.

Waktu hampir menunjukkan pukul 18.00 petang. Cahaya oranye menyelimuti jalanan aspal yang basah oleh hujan. Langit sudah resmi berselimut gelap. Azan Maghrib berteriak lantang minta dipedulikan. Kau hanya ingin menuju rumah. Tuhan Maha Pengertian.

***

18.30. Pintu terbuka perlahan. Anak kecil berlari menyambutmu datang, lantas bertanya ini itu soal mainan yang kau janjikan. Di ruang tamu, ayah, ibu, dan kakakmu sedang menonton tv. Di atas meja makan, seloyang pizza yang masih hangat menertawaimu yang basah kuyup bermandikan hujan dan asap knalpot pejuang cinta bermobil hitam.

18.15. Kau bergegas mandi dan mempedulikan Tuhan. Tapi, kekasihmu tak kunjung datang dan memelukmu mesra dari belakang. Tak juga lantas melingkarkan lengannya di pinggangmu dan mendaratkan kecup sayang di kening, pipi, dan kedua matamu yang seharian terbebani tanggung jawab. Kekasihmu tak ada di sana. Tidak di ruangan manapun yang kau buka pintunya.

18.45. Telepon genggammu berdering kencang. Akhirnya kau benar-benar pulang. Kau berada di rumah.

"hallo........ "
suara yang kau tunggu seharian penuh.

Thursday 10 October 2013

Sebelum Puncak tertinggi di Pulau Jawa

Perjalanan saya akan di mulai pada tanggal yang belum ditentukan. 5 tahun lebih saya memendam keinginan yang saat itu sangat substil. 2008 keinginan untuk menjadi avonturir mulai lahir. 2008 kalimat so hok gie soal mengenal alam, mengenal diri sendiri, mengenal Indonesia perlahan telah menggerogoti apa-apa yang tersisa dari saya yang saat itu sedang patah hati. ya, satu-satunya obat patah hati adalah pergi sejenak membenamkan diri pada buku dan hal-hal yang menarik. Saat itu saya hanya mampu mengakrabi sunyi, kendati saya ingin pergi lebih jauh daripada angin gunung yang membawa debu vulkanis di angkasa.

2009 saya mengenal Gunung Semeru dari atap sebuah rumah. Juga dari berbagai buku dengan deskripsi yang luar biasa biadabnya. 2010 saya menyapa puncaknya dari kaldera Bromo. Melambaikan tangan tanda takjub pada kemegahannya. Saya jatuh cinta pada ranu kumbala kendati belum pernah bertatap muka. Tapi cinta saya lagi-lagi tak kesampaian kala itu. Bahkan pada hal yang tak memiliki nyawa. Menyedihkan.

2013 awal Semeru mulai kehilangan kemegahannya sebagai puncak tertinggi di Pulau Jawa. Kaum Urban dan social-media menggagahi segala pesonannya. Sebagai contoh kecil, rerumputan di pinggir Ranu yang terpangkas jejak-jejak para "pekemah" sejak era film bombastis 5 cm tayang di bioskop. Mungkin sekarang masyarakat kota yang apatis semakin menyadari potensi alam di negri ini dan Semeru tak lagi sepi. Namun yang pasti, roda ekonomi penduduk di sana semestinya berputar lebih dahsyat lagi. Sekalipun harga yang harus dibayar kelak adalah semakin minimnya destinasi yang sunyi, teduh, nan syahdu untuk dinikmati.

Seperti banyak lokasi wisata lainnya, semua tinggal menunggu waktu hingga seorang "investor" datang dan menjalin "kerjasama" dengan pemerintah daerah setempat. Namun apapun yang terjadi, semoga nilai-nilai luhur masyarakat di sana tetap terjaga dan semoga para pengunjung tidak menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat pembuangan sampah urban seperti yang sudah-sudah. Karna kelak, saya juga akan menziarahi keindahannya beserta anak dan sang istri. 
*** 

Sekarang, genap 5 Tahun saya "berpuasa" memendam keinginan terdalam untuk menuju puncak tertinggi di pulau Jawa tersebut. Memperoleh ridho Ibu untuk kesana itu bukan perkara mudah. Berkali-kali saya memendam rasa kecewa yang mungkin dianggap remeh beberapa orang. Butuh proses yang panjang, berbelit dan menyakitkan.

"Jangan kesana dulu sebelum kamu selesaikan kuliahmu, urus skripsimu!"
mendengar hal tersebut saat pikiran sedang semrawut adalah hal yang menyakitkan.

Memang benar, menjadi kaya itu tak perlu ijazah, untuk bepergian tak perlu persiapan yang terlampau matang, tapi ridho Tuhan itu ridho-nya orang tua. Seperti kata seorang teman yang entah dia baca dari mana. "urusi orang tuamu, maka Allah yang akan mengurusmu." singkat tapi bermakna dalam. Saya tak ingin menyesal.


Hanya orang yang berpuasa dapat merasakan nikmatnya berbuka.  
Saya sering mendengarnya dari para ulama selama bulan puasa. Semu kedengarannya. Namun saat diucapkan oleh seseorang yang "tadinya" berpuasa (mokel), hasilnya akan lebih mengena.

Menyelesaikan skripsi atau tugas akhir hingga tuntas dan lantas dinyatakan lulus adalah soal niat dan kemauan. Bukan melulu soal kata-kata fantastis di blog,  lini social-media, dan buku harian. Hasilnya, Bulan Oktober ini penantian saya usai sudah. Tugas saya demi memperoleh gelar akademis selesai. Tanggung jawab akademis saya tuntas. Amanat ibu dan almarhum ayah telah saya penuhi. Kendati bukan sebagai lulusan terbaik dan menyandang gelar cum-laude, namun rasa bangga dan kebahagiaan dapat saya lihat di mata ibu saya begitu juga di mata orang tua wisudawan-wisudawati lainnya. Membahagiakan orang yang tercinta dan tak lelah berjuang untuk saya itu memang selalu lebih menyenangkan. Pada akhirnya ada kebahagiaan lain yang lebih bermakna daripada ngotot memenuhi ego dan selalu ingin membahagiakan diri sendiri.

Kegembiraan yang lain adalah akhirnya bisa mempublish draft tulisan ini setelah saya biarkan vakum selama beberapa bulan. Bukan bermaksud sombong ataupun keminter, namun hari ini adalah bukti nyata bahwa saya berhasil. Tulisan saya kali ini bukan sekedar omong kosong tanpa tindakan nyata dan makna. Tulisan ini kelak menjadi pengingat bahwa saya berhasil melawan kelemahan diri dan mengatasi segala ketidaknyamanan yang kemarin sempat saya hadapi.

Bulan ini, saya mencapai checkpoint yang kesekian dalam hidup. Sekarang saatnya saya "berbuka puasa". Kali ini dengan kekasih. Kemana perjalanan kami harus bermula? Pelaminankah? heueheueheu...

Seperti segala pencapaian dalam hidup, berbekal cinta juga ridho Tuhan dan ibu, puncak Mahameru juga hanya soal waktu. Dengan Menyebut NamaNya yang Maha segala. 

mendung cuma numpang lewat. kisana. 


Friday 19 July 2013

pada suatu pagi yang cerah, matahari bersinar seperti biasa.
jalanan dipenuhi kendaraan bermotor dan orang-orang berbaju takwa,
juga kopiah dengan aneka rupa dan warna yang tak senada.

pembunuh, pemerkosa, koruptor, dan para pelaku 7 dosa tak terampuni keluar dari sel-sel persegi.
petuah yang sama kembali didengungkan kesekian kalinya di halaman penjara.
tak ada yang berubah kecuali apa yang terbersit di antara sepersekian detik

lapangan rumput perlahan dipenuhi koran dan sajadah.
langit dinodai balon-balon gas hidrogen yang tak sengaja lepas dari genggam tangan para balita.
 
setelah hari itu,
semuanya makin mudah diingat kepala.



Monday 1 July 2013

kepekaan yang kau katakan itu bernama "omong kosong"

mari kawan, kita kenang idealisme orang-orang baik sekali lagi. 
Baru semalam, saya berusaha mencerna ulang kisah balada si Roy. Bagi saya, Roy adalah tokoh fiktif yang hampir nyata. Gol a gong berhasil membuat rekaannya tersebut bernyawa. Saya pun tiba-tiba teringat seorang kawan yang acap kali berkata bahwa seorang pejalan, (avonturir atau apapun saya menyebutnya) hendaknya selalu dan kelak akan lebih peka terhadap apa saja. "dengan berjalan, kita akan lebih peka", begitu yang ditasbihkannya berulang-ulang. 

Perjalanan dapat menjadi sebuah pelarian, tapi tak pernah mengajarkan soal lari tanggung jawab. Lari dari tanggung jawab bukan sikap dan laku seorang pejalan, tapi sikap dan laku seorang pengecut. Dan pengecut, bukanlah seorang pejalan. Lebih pantas disebut sebagai buronan. 

Perjalanan tak akan pernah mengajarkan bahwa ada tempat yang lebih baik selain rumah, di mana kedamaian menidurkan diri, di mana kepekaan yang kita cari dibutuhkan sekali. Kembali, bukankah perjalanan harusnya mengajarkan kita soal laku peka dalam apa saja, bukan hanya perihal kehidupan sosial?  

Saya pun teringat dengan salah satu paragraf yang ada di belakang buku Agustinus Wibowo,
"hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan."
***

Dalam adegan terakhir film into the wild, Alexander Supertramp sang tokoh utama membuat saya mengambil kesimpulan. Bahwa mereka yang sekarat, adalah yang orang benar-benar disentuh kehidupan. Ada pejalan yang berhasil menemui kedamaian yang dia cari namun ada pejalan yang mati dikoyak sepi dan kesombongannya sendiri. Menyedihkan sekali rasanya melihat sebuah potensi membumi hanguskan akalnya karena kesombongan dan ilusi perihal hak milik. Hak milik terhadap kehidupan yang saya sebut saja, kelewat batas. 

ah, malam tadi pikiran saya dipenuhi asumsi, pertanyaan, dan teori-teori. Apakah seorang pejalan berangkat dari sikap "sok tau" yang berlebihan? atau justru berangkat dari ketidaktahuan? dari sebuah laku kerendahan hati? karena hal tersebut, bukankah ini berarti perjalanan tak pernah mengajarkan sebuah laku kesombongan? 

Sebuah laku kesombongan, tak pernah mengajarkan saya apa-apa selain menyediakan sebuah hal fana bernama eksistensi. Namun, bagi saya, ada sebuah hal yang lebih menawan daripada sekedar terlihat eksis dalam berkuasa dan menguasai. "dihormati". Saya mempelajari hal ini dari rocker yang jadi pelantun lagu on clinic dan dari pengacara yang menjadikan sumpah pocong sebagai penegakkan hukum tertinggi. Apalah artinya sebuah eksistensi jika tak dihormati? "respect" tak akan pernah bisa dibeli. 

Seandainya hidup tak mengajarkan kita perihal laku sosial, tentu kita bisa lebih masa bodoh dengan keadaan dan norma-norma yang ada. Atau secara sederhana, seandainya manusia yang mati bisa mengubur dirinya sendiri.

Blogger picisan seperti saya juga ingin dikenang dengan meninggalkan nama baik dan mahakarya puitik. Tapi jauh daripada itu, saya lebih memilih dikenang sebagai pribadi yang mampu menjaga amanah. Terutama amanah ibu yang membesarkan saya.

kita peka karena perjalanan, atau kita berjalan karena kepekaan? ataukah kita sedang berjalan menuju tanah lapang tempat idealisme dimakamkan. idealisme orang-orang baik.

Monday 3 June 2013

Pagi sendu

Belum genap pukul 6 pagi saya terbangun dengan sisa-sisa hantaman kafein di kepala. Secangkir ramuan bubuk kopi yang dicampur biji cabai sukses menjadikan jam tidur saya nyaris habis terpangkas. Biasanya saya malas untuk membuka laptop lantas menulis sepagi ini, namun berkat seseorang saya belajar, tak pernah ada orang bijak yang bangun kesiangan. Sepertiga malam hingga matahari muncul di kaki awan, pagi selalu diselimuti hal magis. 

Sepagi ini Kota Megapolutan juga telah menggeliat. Bak para gladiator, Skrup dan bidak-bidak hidup yang disebut kaum urban tengah bersiap menyambung masa. Baju zirah dan pedang telah digantikan kemeja berdasi, ijasah, dan bekal pelatihan sebuah korporasi. Bidak-bidak bernyawa tampak kembali turun ke gelanggang demi meraih kebebasan dan kemuliaan yang sekarang bernama jabatan dan pengakuan tetangga.

Mesin-mesin dihidupkan. "gear-gear" berputar. Robot-robot yang butuh tidur mulai bergerak secera otonom dengan sumber energi baru hasil kreasi para "motivator". Pada masa ini, robot tak butuh sumber energi mahal dan tak ramah lingkungan. "harapan". Robot-robot sekarang mampu bergerak bahkan membunuh tanpa ampun hanya berbekal "harapan". Sumber energi tersebut dapat lebih tajam dari sebuah mata pisau victorinox keluaran terbaru. Yang asli, bukan "tembakan" asal negri bambu.

Beberapa hari ini saya kembali mengakrabi pagi. Pagi setelah dua pertiga malam resmi dilewati. Pagi setelah hujan di awal bulan Juni. 

Tuesday 7 May 2013

Mendung Hanya Numpang Lewat

Dari kejauhan, petir menyalak perlahan. Langit sedang menyiapkan sajak. Meluruhkannya lewat rintik hujan di sepertiga malam. Makhluk bernyawa menyimak sabda semesta dengan khidmat. Sedang tubuh penyair picisan kalap menyantap semangkuk indomie hangat. Apatis. Terutama soal kisruh ujian nasional di seantero negri yang sekarat.

Beberapa kilometer di bagian Selatan kota mega polutan, lelaki itu terjaga. Lelah membaca jurnal ekonomi, ia memperhatikan berita dan perkembangan perihal apa saja dari kotak sampah yang disebut TV. Namun, bahkan pada sampah itu ratusan orang menggantungkan asa, Rupiah dan masa hidup yang lebih lama. Karunia pun dapat menjelma selayak berhala.

Sejak minggu kemarin, lelaki itu memikirkan perihal cita dan pundi-pundi materi. Perihal pencapaian dan jati diri. Ekspedisi yang sejauh ini masih diberi label "mimpi". Penyesalan terbesarnya bukan karena tidak ikut organisasi kemahasiswaan serupa Badan Eksekutif Mahasiswa, namun karena kepengecutannya meninggalkan rumah, lantas bergabung sebagai seorang Mapala atau dewan pers mahasiswa. Sekarang dia benar-benar kehilangan arah. Terutama setelah membaca coretan So Hok Gie yang mengutip tulisan Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the Earth.”

Di luar, mendung lagi-lagi hanya numpang lewat. Hawa pagi kian memanas. Lelaki itu sekali lagi membaca ulang sajak dan puisi usang yang belum pernah menghasilkan uang. Pikirannya terpenjara pada tugas akhir yang semakin erat mengikat. Hari kemarin seorang kawannya menyampaikan sebuah pepatah klise "lakukan yang kamu cintai atau cintai yang kamu lakukan". Lelaki tersebut memaknai ini seperti duduk di atas sebuah tungku yang masih menyala. Malam ini lelaki itu sadar, ada yang lebih menyakitkan dari rindu yang tak berbalas, terpaksa mengerjakan sesuatu yang tak disukai, namun mendesak minta diselesaikan.

***

Perempuan itu tertidur lelap. Di mimpinya malam ini ada dua pasang sepatu yang di letakkan begitu saja di bawah pohon yang dedaunannya rimbun. Ada dua helai kaus yang baru saja jatuh pada hamparan pasir pantai yang halus. Ada jejak-jejak kaki telanjang dan bekas penat yang seketika dihapus ombak. Ada renyah tawa bahagia dan kecipak air yang harmonis sekalipun tak pernah senada.

"saya rindu kamu." lelaki itu mengigau.

Thursday 18 April 2013

Jarak dan sebaris pesan

Minggu ini salah satu kawan saya akan menjalani sebuah ritual kedewasaan. Menjadi seorang pangaranto seperti halnya anak lelaki berdarah Batak lainnya. Sebut saja namanya Lugar (nama sebenarnya). 

Saya dan Lugar pertama bertemu pada tahun 2004 sebagai kawan sekelas saat SMA. Dan 3 tahun setelahnya kami dipertemukan lagi, kali ini di universitas dan jurusan yang sama. Tapi terhitung minggu ini, akhirnya kami berada di jalur yang berbeda. Sama seperti nominal angka pada umur kami. Saya masih berkutat dengan tugas akhir kuliah, sedangkan Lugar yang baru saja di wisuda Maret lalu akan meniti karir di Pontianak.

Saya mengenal lelaki berpostur "sedikit melebar" ini sebagai satu-satunya kawan yang hampir sangat tidak mungkin memperlakukan wanita dengan cara yang salah. Mutlak. Gurunya adalah sang kehidupan itu sendiri. Bersama ke empat sahabat saya semasa kuliah, kami mengenalnya sebagai seorang lelaki yang sangat sayang pada keluarga. Terutama pada Ibunya, Lugar tidak lagi bisa disebut patuh, lebih dari itu, dia hormat dan tunduk. Saya mengetahui benar bagaimana kawan saya tersebut kerap tidur larut demi membantu ibunya berjualan, mencari nafkah. Jika benar kedudukan Tuhan dan seorang Ibu hampir setara, maka jelas hanya soal waktu hingga dunia pun tunduk pada kaki kawan saya yang satu ini.

Beberapa malam ini dia gundah, minggu ini dia harus bersiap melepas apa yang telah melekat dalam hidupnya. Jauh dari rumah, jauh dari peradaban mega polutan. Tapi seperti hal sederhana lainnya, seorang Ibu tak akan lupa mengucapkan nama anak-anaknya dalam do'a. Begitu pula dengan kami kawan-kawan yang akan bergantian atau secara bersama-sama akan menggoda pemuda tambun ini sesekali waktu lewat perangkat seluler.








 being grown up...












seorang motivator ulung acap kali berucap,

"takkan lahir pelaut ulung dari laut yang tenang."

Ada sebuah filosofi kuno yang kerap diucapkan orang tua dari tanah Batak. anakkonhi do hamoraon di au atau secara sederhana dapat diartikan "anaklah kekayaanku". Akan tiba masanya, hal ini akan lebih dari kita pahami. Maka jaga dirimu di sana kawanku dan semoga berhasil di perantauan. Tahun ini mudah-mudahan aku menyusul pergi. Selamat menjalani hidup baru.

p.s.:
*Pangaranto = Merantau = pergi ke negeri lain (untuk mencari penghidupan, ilmu, dsb); pergi mencari penghidupan ke tempat yg tidak berapa jauh;

Wednesday 17 April 2013

satu hari

***
Surabaya. Pagi itu matahari masih muncul dari ufuk Timur. Sinarnya lemah, nyaris gemulai. Alih-alih terasa hangat, angin menindih embun yang dingin, berhembus perlahan melalui celah-celah kaca jendela. Merambati buku-buku, kertas, dan Kitab Suci yang mulai berdebu. Angin bertiup sekali lagi, menegaskan bahwa pagi baru akan dimulai pukul 10.00.
***
Kamar mandi. Tuts piano dan senar gitar bergantian mengalun. Menggema di antara keramik dan ruang yang  tersentuh air. Pada bak mandi dan gayung, pada odol, sikat gigi, botol shampo, sabun, dan salah satu hal terpenting dari sebuah kamar mandi, "kloset" yang bersih. 

Burung gelatik jawa bercicit pelan dan ritmis di seberang jendela. Bertengger di dahan pohon Mangga berumur 8 Tahun yang jarang berbuah. Berisik yang menenangkan. Seperti dengkur halusmu saat terlelap di pundakku. Sedang langit serupa beludru abu-abu. Petir menggelegar malu-malu. Gerimis luruh. Hingga pukul Tujuh.
***
Perjalanan. Deru piston dari "kuda plastik dan besi" memenuhi media udara. Asap hitam dan putih membaur bersama ras Mongoloid, Kaukasoid, dan Australoid. Anak-anak kecil berseragam putih merah, biru, dan abu-abu mulai membanjiri sekolah. Truk-truk besar terparkir di pom bensin memasuki waktu tunggu. Pinggir sungai gunung sari tak lekang dari hilir mudik orang-orang separuh baya. Benang, mata kail, dan jaring-jaring di genapi dengan jampi dan do'a do'a para pemancing. Jalanan aspal yang sepi dan basah seketika riuh. Bebunyian pagi yang syahdu menjadi kumuh.
***
Muda-mudi berpenampilan parlente tampil di panggung hiburan. Entah terlahir dari idealisme macam  apapun, semua memperjuangkan nasib yang sama di kota mega polutan. "Demi sesuap nasi dan sesendok berlian" - filosofis sekali.

Kampus. Kantor. Meja kerja dengan dokumen dan berkas-berkas. Serta sebuah komputer dengan walpaper dekstop berlatar pantai berpasir putih. Cita-cita hadir di sana. Penjelajahan. Namun di bawah keteduhan sebuah korporasi, seluruh cita-cita pada akhirnya menuju tujuan yang sama. Penjajahan. Ambil semua pangsa, hingga terlalu sedikit kelak yang akan tersisa. Malam datang.
***
Petang. Jalan pulang. Langit memerah. Emas dan jingga tercampur paripurna. Keruh jelaga pamit pada langit sore. Pesan singkat di perangkat seluler tertulis jelas sebuah nomer dan nama. Rumah. Kamu. Cinta.
***
waktu terbelah, Bulan merekah. Kegelapan merayap perlahan. Dari sebuah bayangan gubuk yang timpang, lantas menyebar. Menutupi sela-sela dahan pohon trembesi, gedung-gedung tinggi, hingga sebuah bangunan yang tersusun dari darah, tulang, daging, dan harapan manusiawi.
***
Kamar dengan cahaya lampu Philips 14 watt. Seprei putih dan bedcover biru langit berkerut menyesuaikan bentuk tubuh keturunan Adam dan Hawa. Di ujung ruangan yang menghadap barat, tergeletak secarik perkamen usang berisi sajak dan puisi, juga selembar foto tak bernyawa di pinggir meja.
 ***
terpejam. bermimpi. barisanhurufhuruftaklagiberspasi.

Monday 1 April 2013

membela harga diri

"berkatalah sesukamu, karna diam bisa merupakan sebuah jawaban". kata imam al ghazali

Libur panjang baru saja usai. Kesalahan saya adalah menghajar diri dengan mangkuk-mangkuk es dan angin malam selama beberapa hari. Ini adalah hari kesekian dari "semester akhir", semester berjalan telah memasuki awal bulan April. Skripsi saya stuck ditempat yang sama sejak pertengahan bulan kemarin. Satu hari hanya dua kalimat yang berubah. Benar, moody bukan sebuah sifat yang baik. Banyak orang menganggap sifat tersebut menjadikan penderitanya kerap menunda-nunda, atau bahasa kerennya procrastination. Ditambah kondisi tubuh yang kembali drop, lengkaplah sudah excuse yang saya buat minggu ini. Mental seniman, tanpa mood yang baik, tak ada karya yang baik. 

Menunda menyelesaikan skripsi bisa dikatakan sebagai salah satu dosa besar seorang mahasiswa, selain jatuh cinta pada dosen separuh baya yang punya anak. Bisa semakin besar jika ternyata mahasiswa tersebut adalah anak pertama, minim pengalaman organisasi, tak ada pekerjaan sambilan, dan memiliki adik yang semestinya menjadikan kakak sebagai sosok panutan. Banyak cara untuk melarikan diri dari tanggungan seperti ini. Menciptakan alasan itu mudah, tapi memilih diam bukan sebuah hal yang sederhana. 

Dalam kondisi perut yang sedang lapar ini, saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa yang disebut zona nyaman itu? apakah sebuah tindakan mengesampingkan atau menomorduakan hal yang mendesak dapat disebut sebagai sebuah kondisi menciptakan zona nyaman? jika demikian, maka uang, kesibukan, pundak kekasih, bahkan perjalanan mencari eksistensi tentu "bisa saja" dikatakan sebagai zona nyaman, bukan begitu? ("bisa saja" di sini berarti syarat dan ketentuan berlaku.)

Banyak dari kita acapkali berteriak lantang menuntut hak hingga lupa pada kewajiban. Menyikapi hal ini bukankah dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seseorang manusia itu selalu menghendaki rasa aman dan nyaman? bukankah hal tersebut juga mendandakan bahwasannya tidak ada seorang manusia yang tak menghendaki berada dalam zona nyamannya?

Bagi saya, diam bukan menjadikan kita berada pada sebuah zona nyaman. Dengan diam, kita berpikir ulang, memaksa kita lebih kuat dari batu karang karna harus melawan keinginan-keinginan. Konon cobaan paling berat adalah melawan diri sendiri dan diam juga dapat dikatakan sebagai usaha untuk melawan keinginan-keinginan untuk melarikan diri. Tak pernah ada yang sederhana dalam sebuah "diam". Lihat saja kedahsyatan efeknya jika dilakukan kekasihmu.

Diam memaksa kita berkontemplasi. Tindakan tersebut membutuhkan keberanian yang konsisten. Melawan keinginan-keinginan yang semestinya berada di nomer dua, melawan ego, dan pada akhirnya memaksa kita melawan ketakutan-ketakutan. Kontemplasi tak pernah bisa terjadi saat suasana riuh. Tak ada ruang bedah yang berisik, begitu pula kondisi di goa Hiro, Gunung Sinai, Bukit zaitun, perut Paus, dan padang pasir yang tandus.

***

Rasanya tidak pantas, bahkan hanya untuk mencoba lari dari tanggung jawab yang seharusnya kita selesaikan. Di sepertiga malam seperti ini, saya juga berpikir, apa benar menyelesaikan skripsi itu cuma butuh konsistensi? lantas dari mana konsistensi itu bisa hadir? dari keinginan dihargai dengan titel dan selembar ijasah? dari omelan orang tua / kekasih? atau kita juga perlu sebuah inspirasi?

ya, kadang kita mudah sekali merasa terinspirasi, tapi inspirasi juga dapat bermetamorfosa menjadi noise dan distorsi atas segala kewajiban yang semestinya lebih dulu kita tuntaskan. Inspirasi harusnya menjadi booster untuk menuntaskan apa yang telah kita mula, bukan menjadikannya alasan untuk tidak konsisten terhadap apa yang seharusnya segera kita selesaikan. 

jika begitu adanya, maka konsistensi juga butuh keberanian dan hanya seorang pengecut yang tak bisa konsisten. Kalau makan saja masih dari keringat orang tua, maka selesaikan skripsimu kisana. 

"baiklah, skripsi ini akan saya sentuh lagi setelah saya masak indomie untuk sahur,, egh atau mungkin setelah subuhan deh baru saya kerjakan lagi."
dasar bebal.

Saturday 30 March 2013

take a deep breath, and fall...



Para orang tua kerap mengatakan cinta itu buta, tuli, ini, itu... lantas saya pun mengambil kesimpulan, bahkan cinta-pun cacat, bagi siapapun, baik itu bagi Habibie dan almarhumah Ainun. Tapi alangkah tidak bijaknya menjustifikasi pendapat seperti ini, maka bagi anda pendapat anda dan bagi saya pendapat saya. Tak perlu berdebat. Perspektif tak berasal dari satu kepala yang sama. 

Sedikit banyak, tentu kita ingat pernah merasa begitu tertarik pada seseorang dengan alasan yang tidak bisa dikatakan logis. Entah karna kulitnya yang bersih nan eksotis, wangi parfum yang melekat pada tubuh dan rambutnya, caranya mengikat tali sepatu, lesung pipit dan kerut sekitar matanya saat tersenyum, masakannya atau bahkan karena letak tanda lahir di bagian tubuh tertentu. Singkatnya, kita akan mengalami fase di mana segala kecacatan cinta, berawal dalam bentukan yang sempurna. 

Menuliskan sesuatu perihal rasa semacam ini kerap mengingatkan saya pada sebuah lyric lagu dari Patty Smyth dan Don Henley 

But there's a danger in loving somebody too much,
and it's sad when you know it's your heart you can't trust. 
There's a reason why people don't stay where they are.
Baby, sometimes, love just aint enough.

Tidak pernah ada yang mengatakan pada kita bahwa keberadaan seseorang bisa berarti banyak. Ayah, Ibu, Kakak, bahkan guru spiritual kita bisa jadi lebih banyak diam atau bermanuver ke arah yang kita kira tidak logis. Kebenaran seperti apapun akan terdengar konyol di telinga, keruh, riuh, bising, dan berisik. Pengalaman seseorang tak bisa murni dijadikan acuan mengenai pilihan-pilihan yang harus kita tentukan. Hingga tiba saatnya jatuh cinta menjadi gerbang revolusi bagi seorang manusia.

Kita mungkin ingat saat degup di dada bergemuruh lebih keras dari derasnya hujan di luar rumah, bahkan saat hanya berniat mendekat, sekali lagi, hanya "berniat". Betapa berdua serasa begitu singkat, begitu luas sekaligus sempit dalam satu satuan waktu. Betapa gelap kan terasa benderang. Waktupun mengkristal (meminjam istilah dewi lestari). 

Tiba-tiba kita kan merasa begitu lelah menunggu. Betapa kita telah merasa berkorban banyak demi momen tertentu. Momen sederhana bersama dia dihadapan kita saat ini. Saat jemarinya mengusap lembut pipi dan tatapannya memandang jauh melewati batas yang diciptakan retina. Lantas mata kita terpejam dengan bibir saling terkatup. Hangat dan dingin tak wajar mengaliri telapak tangan yang basah. Tak perlu menunggu waktu lama hingga pelipis akhirnya dibanjiri keringat. Kita jatuh, dan tersesat..  yap, we are lost in love.

Setelah momen itu usai, satu dan yang lain akan semakin menggilai. Erat dan terikat. Lebih sulit melupakan seseorang yang juga menyentuh kita dalam artian yang sebenarnya. Ari lasso salah, menyentuh hati saja tak pernah cukup. Cinta saja tak lagi cukup. 

Lantas cintapun menganut sistem dan teori - teori ekonomi, tentang trade off, opportunity cost, investasi, manajemen risiko, dan sebagainya. Menjadi dewasa, cinta dikatakan berevolusi menjadi sesuatu yang logis nan realistis. Bibit, bebet, bobot. Sedikit tambahan jika kita seorang yang religius. Perasaan yang murni pun menjadi sebuah komoditi unggulan namun langka di pasaran, dan pada akhirnya, cinta juga bisa diperjual belikan. Segala hal mengenainya akan dikaitan dengan choice (pilihan), decision making (pengambilan keputusan), dan bahkan sacrifice (pengorbanan).

Seringkali kita dipaksa mengorbankan suatu aspek untuk memperoleh aspek lain yang lebih penting. Bahkan sekedar kesempatan atau peluang, kerap meminta tumbal. Entah atas dasar prioritas atau sebagai insturment investasi  untuk masa depan, pada akhirnya cinta akan di dasari perhitungan untung dan rugi. Saat hal itu terjadi, maka amalkan salah satu idiomatic phrase dari manajemen investasi : "never put all your eggs in one basket" jangan jatuh pada satu orang. "there's a danger in loving somebody too much."

Banyak dari kita menghubungkan cinta dengan perkara untung rugi. Lantas tanpa sadar memaksakan sesuatu berjalan seperti yang kita kehendaki. Kita lupa, bahwa kehendak yang dipaksakan bisa menjadi bom waktu. Dalam suatu percakapan menjelang tengah malam, seorang sahabat saya pernah mengingatkan, "konon perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk pria? rusuk itu bengkok, kalau kamu paksa lurus, dia akan patah dan tamat sudah uripmu. Hati-hati siapin parasut, supaya tulangmu gak remuk kalau jatuh. tapi bukan berarti kau harus selingkuh, wehehehehe" katanya sambil menyantap semangkuk indomie. 

Friday 22 March 2013

4 fragmen dan kita

Empat bulan berlalu, saya dan aku mengenal anda dan kamu seperti nyala kilat. Seperti sepercik air es dan sebongkah bara api. Anda dan kamu adalah negri di mana penyihir Oz yang masyhur itu bermukim. Musim berganti pada satu waktu. Sedang saya dan aku adalah penghuni baru di negri itu. negrimu.

Jika mau diruntut, siang itu banyak sekali yang bisa kita perdebatkan. Perihal harga bawang yang mencekik atau hal sepele seperti jus apa yang paling enak diminum siang hari, terutama saat panas sangat terik. namun, hari itu kita memilih topik absurd.

Anda bersikeras, dipilih karena diperjuangkan itu jauh lebih mulia daripada dipilih karena dikasihi, aku sebaliknya, gigih dan dungu itu beda tipis, setipis dicintai dan dikasihani. "Berbeda ya berbeda, tidak terbagi berdasarkan tebal dan tipis", kataku.

sedangkan di pinggir kolam air mancur, Saya dan kamu tersenyum, menikmati semilir angin yang masuk dari celah pilar - pilar besar sebuah mesjid.

15 menit berlalu, waktu tidak pernah stagnan pada satu titik, pembicaraan kita beralih pada perkara cinta dan perjanjian (pranikah). Kaum religius di negri ini menjadikanku bersikap skeptis, Manusia itu makhluk rapuh. Ijab kabul yang dianggap sebagai salah satu perjanjian tersucipun bisa musnah dengan talak, dengan latar belakang alasan yang sepele seperti perbedaan prinsip bahkan suasana hati. Alkisah di negri ini, syahadat, bisa luntur dengan sekardus indomie.

Pada anda, aku mengatakan bahwa perjanjian itu barang jualan para politisi. Jadi ada baiknya kita tidak membawa materi itu ke ranah hati. Sang Pemilik Semesta dengan mudah mampu membolak baliknya. Kehendak bebas menjadikan kita merasa begitu perkasa, lantas seringkali lalai dengan yang tak seharusnya terucap lewat bibir dan lidah. Pada akhirnya, cinta adalah barang langka, sekalipun perceraian diharamkan dan poligami tidak dicontohkan. Kita bisa berbahagia dengannya sementara, saat rasa masih tak terpetakan dalam logika, saat kita bebas berkehendak lagi bertindak karena segalanya masih serba ada. Mungkin.

Hari semakin sore, matahari mulai tergelincir dibalik bayangan gedung pencakar langit. Asumsi-asumsi yang kita bangun mulai ngawur dan siap bertempur. Untungnya kita menyudahi debat itu dengan menjejakkan kaki di kahyangan, lantas berdebat apakah cahaya di kaki langit sebelah barat itu planet venus atau lampu jalanan. Saat itu, aku juga mengajakmu bertaruh, apakah orang asing yang mondar-mandir dengan penyangga leher itu sebuah robot atau manusia kelas mainstream yang sedang bersiap untuk berjoget "harlem-shake". Dan anda menyuruhku beristigfar setelah itu, Sementara saya dan kamu terkikik geli. Senja membuat pipimu dan bibirmu merona, memerah. Manis sekali. 

Saya dan aku tak pernah benar-benar mengenal anda dan kamu, namun, saya mencintai anda, dan aku mencintai kamu. Oh, ya, cahaya itu bukan venus dan bukanpula lampu jalanan. Cahaya itu berasal dari pesawat citylink yang akan mendarat. lihat, Segala asumsi kita belum tentu terbukti benar kan? toh pada dasarnya kebenaran hanya milik Dia, bukan milik habib tertentu.



(ps: perjodohan tertawa riang, kali ini dia bukan sumber polemik kita),

Tuesday 19 March 2013

milik

Ketika mendengar terjadinya penembakan di Colorado pada pemutaran perdana film Batman, The Dark Knight Rises, saya tidak begitu kaget. Agaknya nolan berhasil membuat sebuah masterpiece lain setelah "memento". Dan bayangan saya benar, hanya soal waktu hingga ada seseorang yang merasa "terinspirasi" dengan karakter dan alur film "Batman - The Dark Knight" film kedua dari trilogi batman yang dibuat oleh Christopher Nolan. 

Anak kecil tentu akan terkagum-kagum dengan milyarder setampan Bruce Wayne (Christian Bale) dan kecanggihan alat-alat rancangan lucius fox (Morgan Freeman), namun James Holmes bukan anak kecil, dia bukan milyarder kaya dan tak pernah sedikitpun menyamai seorang Bruce Wayne, dia bukan batman, dan bahkan bukan siapa-siapa selain seorang lelaki yang mengimani jalan pikiran karakter fiktif.

Siapa sangka, pemegang beasiswa di universitas Colorado itu pada akhirnya memiliki persepsi lain soal hidupnya hingga bahkan para napi pun gemas untuk menghabisi nyawanya. Pada akhir kisah, James menjadi kriminal yang terancam hukuman mati, dimusuhi dunia, dianggap gila, juga terkurung dalam imajinasinya sendiri sebagai titisan Heath Ledger dan berperan sebagai "joker".

"you either die a hero or you live long enough to see yourself become the villain." (harvey dent - two face)

Silahkan tidak percaya, waktu juga memiliki kuasa di atas segala pilihan kita. Seseorang bisa bermetamorfosa seindah kupu-kupu, atau menjelma jadi makhluk terkutuk yang paling dia benci sebelumnya, perspektif kita terhadap kitab suci pada akhrinya ditentukan oleh prinsip yang kita anut. Jika anda masih ingat film carita de angel (dulce maria), tentu anda juga akan ingat dengan suster cecilia, seorang suster cantik yang hampir mengabdikan diri sepenuhnya pada Tuhan, namun memilih menikahi seorang duda beranak satu yang sangat kaya. Tuhan dan fasilitas yang diberikannya, dikalahkan rasa ingin memiliki. Benar ini hanyalah sebuah film, tapi bukankah film seringkali dibentuk berdasarkan sebuah imaji atau ... realita yang telah terjadi?

Goenawan Mohammad dalam salah satu catatan pinggirnya mengatakan "Keserakahan juga bisa tampil dalam bentuk yang lebih halus: kesadaran yang berlebih tentang 'milik'.

Kecintaan manusia dan kecondongannya pada sesuatu acap kali membawa manusia untuk berubah. Segala hal yang berlebih, membuat manusia terasing dari dirinya sendiri.  Bahkan makhluk sekelas aagym pun pada akhirnya tunduk oleh waktu dan rasa jenuh hingga memilih jalan yang membuatnya seperti sekarang ini. Kebencian dan kecintaan berlebih acap kali menutupi segala informasi yang kita perlu, namun saya percaya, seorang ahli juga kerap dibentuk oleh kecintaan dan kebencian berlebih. Para penemu telah membuktikannya.

Manusia kerap dibentuk dari kehancuran bukan dari hidup yang manja. Terlalu ingin menjadi seperti apa dan terlalu takut terhadap apa, pada akhirnya membawa kita menjauh dari kesadaran hakiki. Pada orang tertentu, kehancuran membawa bibit trauma sederhana, ketakutan menjadikannya waspada dan mawas pada kejanggalan situasi tertentu, juga rasa tidak peduli pada segala hal yang masih abu-abu. Darisana lahirlah prinsip, benih cahaya yang muncul dari sisa abu.
Satu persatu perspektif orang yang kita kira baik dibantai, kebutuhan biologis dan psikologis juga berkuasa memperbudak manusia selain materi. Tanyakan saja hal tersebut pada penggemar hair metal yang sekarang jadi anggota FPI atau cobalah curhat dengan harvey dent.

Friday 15 March 2013

agama warung kopi

Tulisan ini bermula dari awal Maret di pinggir jalur kereta yang menuju timur kota, tepatnya di sebuah gedung besar yang berdiri sombong dan pongah. Tempat itu adalah satu dari sekian banyak lokasi pergaulan masa kini, tempat persatuan dan kesatuan dapat lebih dijunjung tinggi setiap hari, tempat peradaban berevolusi. Skala kaki lima atau premium, kedai kopi jauh lebih dihormati daripada gereja, mesjid, vihara, klenteng, dan ikon lain  yang seharusnya jadi pemersatu namun kerap kali menjelma sebagai sumber pemecah nomer satu. bukti? sudah berapa lama lebaran berbeda hari? berapa cinta yang terpaksa mati? dan berapa nyawa yang terpaksa diikhlaskan atas hal ini? fanatisme absurd.

Budaya "cangkruk" (red: kongkow) di kedai kopi semakin populer lagi memasuki tahun 2012. Hal ini tak luput dari campur tangan para pebisnis yang memanfaatkan kebiasaan ini dengan mendirikan sebuah kedai kopi premium. Di kota saya, trend ini semakin marak sejak kemunculan starbucks. Namun, seringkali kedai kopi premium kurang begitu diminati karena menawarkan secangkir kopi dengan harga yang terlampau tinggi. Menyiasati hal ini, bisa kita lihat hampir di semua kedai kopi premium tidak hanya menawarkan kopi-kopi "unggulan" saja, namun juga berbagai jenis fasilitas seperti ruangan ber-AC dan yang pasti koneksi WIFI. Fasilitas tersebut ditujukan kepada golongan berjiwa "hemat" (golongan golongan yang tidak berduit banyak ) agar tidak merasa rugi membeli secangkir kopi dengan harga yang tinggi. Tapi ada beberapa kedai yang juga menawarkan fasilitas lain, seperti kursi sofa, kamar mandi yang bersih, dan mushola kecil. Benar sekali, ini sindiran halus untuk beberapa kedai kopi yang pernah saya datangi.

Sebelum menjamurnya kedai kopi seperti sekarang ini, kegiatan "cangkruk" seringkali dikonotasikan untuk para pekerja (golongan menengah kebawah). Namun, budaya ini lambat laun mengalami pergeseran hingga mulai menjangkiti segala lini. Kedai kopi premium atau saya lebih suka menyebutnya sebuah "restoran penjaja kopi" di kota saya menyuguhkan banyak hal untuk di jadikan bahan renungan. Berbagai hal dapat saja terjadi di tempat seperti ini. Mulai rapat-rapat penting dua korporasi dengan jumlah nilai kesepakatan yang fantastis, hingga hal-hal remeh seperti "kegiatan menyambung silaturahmi" atau tawar menawar harga diri, hal yang paling remeh saat ini. 

Ah, kali ini pandangan saya sedang tertuju dengan 6 pak rokok putih berbagai merk yang tertumpuk di meja seberang. Setengah lusin penikmatnya adalah anak-anak berwajah bayi. Asap putih membubung tinggi di ruangan ini dan rokok putih menjadi alat eksistensi, bukan lagi sebagai bahasa keakraban atau nilai kesederhanaan. entahlah, tapi saat itu saya melihat para perokok amatir itu duduk dengan pongah, sepongah gedung ini.

Saturday 2 February 2013

Rest (in peace)

mungkin semuanya akan jadi lebih baik,
saat kita lupa caranya duduk diam dan menikmati manuver burung migran dari utara.
saat hujan menjadi serupa krikil panas dari neraka, bukannya air gula dari shower raksasa.
saat raung knalpot adalah dentum meriam pertama, bukannya dering bel sekolah.
saat sabda para motivator adalah sebuah melodi surga, bukannya orang asing berisik yang tak perlu kita gubriskan apa kata-katanya. 
mungkin hanya di surga cita-cita tak butuh penyesuaian apa apa.
beberapa gadis desa tak perlu melacur hanya demi modal dagang dan kemampuan menjahit apa adanya.
kaum lelaki tak perlu jadi anjing-anjing pemerintah dan korporasi demi melamar sang pujaan hati.
dan kau tak perlu berdandan selayak alim ulama agar tetanggamu bisa tau caranya menghormatimu. 

kelak di batas dunia yang kau sebut surga. kau diperkenankan memakai calvin klein tanpa harus semenarik pramugari maskapai penerbangan.
diperkenankan kau jadi kritikus tanpa perlu pernah menulis buku. 
jadi guru tanpa perlu "biaya transport" untuk hidup. 
dan mungkin kau diperkenankan mencintai sekaligus memiliki.
tentu saja tanpa mahar dan perangkap administratif, bahkan tanpa perlu khawatir akan mertua yang tak tau diri.

berbahagialah kau di sana. kelak di surga, kau bebas menjadi apa saja.
kau bisa menjadi makhluk imaji atau pahlawan super setiap hari.
kau bisa menjalani harimu yang baru sebagai spongebob atau manusia dengan ego ala bruce wayne.
jangan lagi jadi dirimu sendiri. 
berubahlah. 
bukankah kematian adalah sebuah kehidupan baru? kau tak lagi berada di panggung saudaraku. lepaskan topeng penuh kepasrahan itu. 
berburulah ubur ubur atau bercintalah dengan 7 bidadari sekaligus, 
bukankah itu yang dijanjikan Tuhanmu?


berbahagialah dan nikmati semua cita-cita yang kini (bisa) kau capai saudaraku.

ps: kepada bayi bayi yang mati ditelantarkan ibunya.

Thursday 3 January 2013

sejak

Sore itu langit berwarna kemerahan. Awan abu-abu pucat mengarah ke utara dan burung Gelatik Jawa bersenandung di parabola atap-atap rumah. Langit kotaku kala itu berada di antara sisa mendung dan jingga senja yang meriah. Di sepanjang jalan darmo yang notabene menjadi pusat pergaulan dan pergumulan, lalu lintas padat merayap. Pohon Trembesi meneteskan air sisa gerimis dari celah ranting dan permukaan dedaunan.

nada pesan singkat membangunkan tidur nyenyakmu.

***
Perempuan itu terbangun dari tidur siangnya yang biasa. Tangannya refleks menggapai ke samping, meraba meja kecil di dekat peraduan mimpinya. Mengambil kacamata tebal yang selalu ia kenakan untuk memandang ruang yang dia hafal betul di kepala. Lantas bersusah payah duduk dan membaca pesan singkat di telepon genggamnya, sambil membetulkan letak sandaran kepala.

Pesan menjijikkan itu hanya terdiri dari 4 huruf. Klise dan terangkai membentuk kata paling murahan sedunia, paling menjemukkan, dan paling tidak berdaya bagi apa-apa yang telah patah.

"maaf"

tanpa titik tanpa spasi, tanpa sisa ego dan batas hierarki. Tanda baca hanya akan membuatnya hiperbolis. Dia tidak butuh itu. "omong kosong" katanya. "Tidak ada yang lebih menyedihkan di dunia ini daripada permintaan maaf yang tak pada tempatnya".

Lantas wanita itu melepas kacamatanya. Meletakkan benda itu lebih jauh dari jangkauan tangannya. Di meja kecil di sisi tempat tidurnya, di sebelah kotak kecil yang mengeluarkan radiasi tempat pesan itu tertera. Dia tidak ingin terbangun (lagi) untuk sesuatu yang sia-sia belaka. "Sungguh kenikmatan negri utopis mana yang bisa kamu dustakan kisana?", batinya berkata. Tiap suara terisi hampa, pelan-pelan Buminya kedap suara. Hening.

Lantas cahaya perak muncul dari balik gelap yang tidak pernah ia suka.

***

Di negri utopis tempatmu berdiri saat ini, sebuah pesta tergelar meriah. Di sebuah tanah lapang yang rumputnya sedikit basah. Di bawah barisan pohon yang sebagian dedaunannya berwarna kuning dan merah. Lampu-lampu taman menyala terang di hari yang benderang. Manis sekali. Semanis senyummu di suatu pagi yang berembun namun cerah.

Di sebelahmu berdiri lelaki itu, Makhluk surga yang diklaim semesta untukmu. Lelaki paruh baya berwajah tampan, dengan dua mata berwarna coklat cerah yang menggemaskan. Yang di kedalaman tatapannya kamu tenggelam dalam kedamaian yang syahdu nan teduh. Lelaki tanpa nama tersebut sedang menggenggam tanganmu dalam busana yang serba putih. Sempurna sekali. Kamu tak lagi perlu khawatir dikhianati bahkan oleh persepsimu sendiri.

***

Nobody said it was easy  
It's such a shame for us to part  
Nobody said it was easy  
No one ever said it would be this hard  
Oh, take me back to the start
 

I was just guessing at numbers and figures 
Pulling the puzzles apart  
Questions of science, science and progress  
Do not speak as loud as my heart
coldplay - the scientist

Di Bumi yang sedang tak kedap suara. Lelaki itu menatap jauh kedalam layar kaca. Mengembara dari satu dunia ke dunia maya. Di malam yang temaram, bulan bersinar lemah, angin membawa kenangan bergerak cepat. Melawati ruang-ruang padat yang telah retak. Pujangga picisan yang menyedihkan. Pengembara bertampang lusuh, dengan bekas luka dan masa lalu yang patah.

Di sebuah bilik pengakuan. Siapapun yang mengagungkan kejujuran, mungkin takkan pernah siap dengan sebuah kenyataan nista. Ikhlas memang tak pernah mudah, tak semudah berkata "ah" saat menemukan sesuatu yang istimewa. Semua orang merasa berhak bahagia. Merasa berhak atas hidup yang sempurna. Setelah ini semuanya takkan sama. Mungkin di matamu, kita tak lagi paripurna.

"seseorang yang baik akan dipasangkan dengan yang baik, begitu pula yang buruk dengan yang buruk. atau mungkin saja yang baik akan dipasangkan dengan yang buruk, agar yang buruk bermetamorfosa menjadi yang baik." adalah sebuah kata-kata bijak yang tak pernah lunas dipersiapkan. Seperti halnya True love never run smooth.

Hal yang paling menyenangkan adalah saat keberadaan kita menjadi alasan seseorang berbahagia. Segalanya menjadi lengkap dan berarti. Saat bahagia itu lenyap dan kita tak dibutuhkan lagi, mungkin ada baiknya kita pergi. Meninggalkan kenangan yang baik. Membiarkan orang tersebut mengejar apa yang pantas dia miliki.

setidaknya, kehadiran dan kepergianku tak sia-sia untuk hidupmu.