Pages

Friday 22 March 2013

4 fragmen dan kita

Empat bulan berlalu, saya dan aku mengenal anda dan kamu seperti nyala kilat. Seperti sepercik air es dan sebongkah bara api. Anda dan kamu adalah negri di mana penyihir Oz yang masyhur itu bermukim. Musim berganti pada satu waktu. Sedang saya dan aku adalah penghuni baru di negri itu. negrimu.

Jika mau diruntut, siang itu banyak sekali yang bisa kita perdebatkan. Perihal harga bawang yang mencekik atau hal sepele seperti jus apa yang paling enak diminum siang hari, terutama saat panas sangat terik. namun, hari itu kita memilih topik absurd.

Anda bersikeras, dipilih karena diperjuangkan itu jauh lebih mulia daripada dipilih karena dikasihi, aku sebaliknya, gigih dan dungu itu beda tipis, setipis dicintai dan dikasihani. "Berbeda ya berbeda, tidak terbagi berdasarkan tebal dan tipis", kataku.

sedangkan di pinggir kolam air mancur, Saya dan kamu tersenyum, menikmati semilir angin yang masuk dari celah pilar - pilar besar sebuah mesjid.

15 menit berlalu, waktu tidak pernah stagnan pada satu titik, pembicaraan kita beralih pada perkara cinta dan perjanjian (pranikah). Kaum religius di negri ini menjadikanku bersikap skeptis, Manusia itu makhluk rapuh. Ijab kabul yang dianggap sebagai salah satu perjanjian tersucipun bisa musnah dengan talak, dengan latar belakang alasan yang sepele seperti perbedaan prinsip bahkan suasana hati. Alkisah di negri ini, syahadat, bisa luntur dengan sekardus indomie.

Pada anda, aku mengatakan bahwa perjanjian itu barang jualan para politisi. Jadi ada baiknya kita tidak membawa materi itu ke ranah hati. Sang Pemilik Semesta dengan mudah mampu membolak baliknya. Kehendak bebas menjadikan kita merasa begitu perkasa, lantas seringkali lalai dengan yang tak seharusnya terucap lewat bibir dan lidah. Pada akhirnya, cinta adalah barang langka, sekalipun perceraian diharamkan dan poligami tidak dicontohkan. Kita bisa berbahagia dengannya sementara, saat rasa masih tak terpetakan dalam logika, saat kita bebas berkehendak lagi bertindak karena segalanya masih serba ada. Mungkin.

Hari semakin sore, matahari mulai tergelincir dibalik bayangan gedung pencakar langit. Asumsi-asumsi yang kita bangun mulai ngawur dan siap bertempur. Untungnya kita menyudahi debat itu dengan menjejakkan kaki di kahyangan, lantas berdebat apakah cahaya di kaki langit sebelah barat itu planet venus atau lampu jalanan. Saat itu, aku juga mengajakmu bertaruh, apakah orang asing yang mondar-mandir dengan penyangga leher itu sebuah robot atau manusia kelas mainstream yang sedang bersiap untuk berjoget "harlem-shake". Dan anda menyuruhku beristigfar setelah itu, Sementara saya dan kamu terkikik geli. Senja membuat pipimu dan bibirmu merona, memerah. Manis sekali. 

Saya dan aku tak pernah benar-benar mengenal anda dan kamu, namun, saya mencintai anda, dan aku mencintai kamu. Oh, ya, cahaya itu bukan venus dan bukanpula lampu jalanan. Cahaya itu berasal dari pesawat citylink yang akan mendarat. lihat, Segala asumsi kita belum tentu terbukti benar kan? toh pada dasarnya kebenaran hanya milik Dia, bukan milik habib tertentu.



(ps: perjodohan tertawa riang, kali ini dia bukan sumber polemik kita),

No comments:

Post a Comment