Pages

Sunday 9 December 2012

kontemplasi bulan baru

pagi itu satu jam setelah azan subuh. sepasang pejalan kaki dengan langkah rapuh menderapkan kakinya di jalanan aspal kualitas KW. beberapa wanita berusia 37 hingga 70 tahun menggelar dagangannya di pasar yang tampak kumuh. sayuran, ikan, daging , dan bunga-bunga segar yang baru turun dari pickup dan truck tampak begitu kontras dengan raut mereka yang akrab dengan rasa lelah dan kantuk.
waria dan PSK pulang ke peraduannya dengan tampang lusuh. berselimut peluh hingga mungkin tak punya cukup waktu untuk mengeluhkan hidup yang seharusnya teduh.

siang itu, pemuda-pemudi kota berkulit putih beringsut membetulkan sandaran kursinya dengan wajah yang tertekuk keluh. kemuliaan diri ada pada pundi-pundi rupiah yang ditawarkan korporasi tertentu. pada tangan kiri seorang buruh, jam menunjukkan pukul 14.30, keinginan yang subliminal berhadapan dengan kebutuhan yang substansial. demi apa? kerajaan seperti Qorun dan Sulaiman?

sore itu, jalanan ramai oleh lelaki paruh baya yang berharap sampai di kediamannya lebih cepat. warung kaki lima mulai bersiap. menunggu konsumen pertama membrondong rakus dagangannya untuk disantap.

petang itu, seorang anak kecil memakai sarung berwarna biru berjalan riang, melewati taman yang penuh penjaja jajanan khas jalanan. mesjid terdekat melagukan bait-bait prosa melalui toa dan soundsystem yang tidak pernah kompak.

malam itu, di warung kopi premium dan kaki lima penuh paras berbagai bentuk. yang tertawa penuh dan tersenyum separuh.
di sebuah meja bundar sesekali terdengar denting sendok kecil yang beradu dengan cangkir berwarna putih. kali ini uap panas berisi kopi baru saja terseduh. tidak ada suara tangis sama sekali. semua akan tidur dan esok akan terjadi.

idealisme bukan ada di kepala, namun terdapat pada perut yang terisi penuh dan sensasi surga yang berada di sekitar lipatan paha. negri ini berevolusi. industri dan ekonomi. pola pikir dan hati nurani. sains dan agama langit. para penyedia rasa dan Sang Maha berkonspirasi. malam masih panjang kisana. jangan cemaskan lamunanmu perihal hidup. jatuh cintalah. 

hanunah

membiarkan rasa berada pada posisi yang seimbang memang bukan perkara mudah. kita pahami betul hal itu pada suatu malam yang teduh. saat bulan hanya bersinar separuh. dan hati kita mulai menunjukkan debar yang begitu gemuruh. cukup.

yang kita rasa ini bisa berlaku seperti air . mengalir, lantas memecah hingga pada molekul yang paling sederhana. hingga pada akhirnya, kita tak luput pada reduksi tapal batas hitam dan putih. kamu pernah menjadi senyawa asing dalam hidupku, lantas pada separuh malam, kamu menjadi potongan mozaik yang kucari selama ini. seperti halnya kehilangan, keinginan yang terjadi bertubi-tubi juga belum tentu bisa tuntas kita persiapkan.

menurutmu, apa salah cinta hingga harus dihakimi pada batas waktu tertentu? atas nama masa depan aduhai dalam benak mereka yang menilai? apa yang salah darinya hingga kita terukur pada batasan umur, waktu, dan mungkin saja, materi.

kitapun mengamininya bersama. berlenggang seperti dokter yang memvonis pasien pengidap kanker.

rindu bukan hal pribadi bagi mereka yang saling mencandu. lain cerita jika kedua huruf itu membentuk kata curiga dan cemburu.

saat aku menemukanmu, aku akan menemukan keberanianku dan saat aku menemukan keberanianku aku (akhirnya) menemukanmu. terima kasih.

kamu, kenapa begitu candu? seakan-akan menjelma jadi telaga rindu.