Pages

Friday 15 March 2013

agama warung kopi

Tulisan ini bermula dari awal Maret di pinggir jalur kereta yang menuju timur kota, tepatnya di sebuah gedung besar yang berdiri sombong dan pongah. Tempat itu adalah satu dari sekian banyak lokasi pergaulan masa kini, tempat persatuan dan kesatuan dapat lebih dijunjung tinggi setiap hari, tempat peradaban berevolusi. Skala kaki lima atau premium, kedai kopi jauh lebih dihormati daripada gereja, mesjid, vihara, klenteng, dan ikon lain  yang seharusnya jadi pemersatu namun kerap kali menjelma sebagai sumber pemecah nomer satu. bukti? sudah berapa lama lebaran berbeda hari? berapa cinta yang terpaksa mati? dan berapa nyawa yang terpaksa diikhlaskan atas hal ini? fanatisme absurd.

Budaya "cangkruk" (red: kongkow) di kedai kopi semakin populer lagi memasuki tahun 2012. Hal ini tak luput dari campur tangan para pebisnis yang memanfaatkan kebiasaan ini dengan mendirikan sebuah kedai kopi premium. Di kota saya, trend ini semakin marak sejak kemunculan starbucks. Namun, seringkali kedai kopi premium kurang begitu diminati karena menawarkan secangkir kopi dengan harga yang terlampau tinggi. Menyiasati hal ini, bisa kita lihat hampir di semua kedai kopi premium tidak hanya menawarkan kopi-kopi "unggulan" saja, namun juga berbagai jenis fasilitas seperti ruangan ber-AC dan yang pasti koneksi WIFI. Fasilitas tersebut ditujukan kepada golongan berjiwa "hemat" (golongan golongan yang tidak berduit banyak ) agar tidak merasa rugi membeli secangkir kopi dengan harga yang tinggi. Tapi ada beberapa kedai yang juga menawarkan fasilitas lain, seperti kursi sofa, kamar mandi yang bersih, dan mushola kecil. Benar sekali, ini sindiran halus untuk beberapa kedai kopi yang pernah saya datangi.

Sebelum menjamurnya kedai kopi seperti sekarang ini, kegiatan "cangkruk" seringkali dikonotasikan untuk para pekerja (golongan menengah kebawah). Namun, budaya ini lambat laun mengalami pergeseran hingga mulai menjangkiti segala lini. Kedai kopi premium atau saya lebih suka menyebutnya sebuah "restoran penjaja kopi" di kota saya menyuguhkan banyak hal untuk di jadikan bahan renungan. Berbagai hal dapat saja terjadi di tempat seperti ini. Mulai rapat-rapat penting dua korporasi dengan jumlah nilai kesepakatan yang fantastis, hingga hal-hal remeh seperti "kegiatan menyambung silaturahmi" atau tawar menawar harga diri, hal yang paling remeh saat ini. 

Ah, kali ini pandangan saya sedang tertuju dengan 6 pak rokok putih berbagai merk yang tertumpuk di meja seberang. Setengah lusin penikmatnya adalah anak-anak berwajah bayi. Asap putih membubung tinggi di ruangan ini dan rokok putih menjadi alat eksistensi, bukan lagi sebagai bahasa keakraban atau nilai kesederhanaan. entahlah, tapi saat itu saya melihat para perokok amatir itu duduk dengan pongah, sepongah gedung ini.

No comments:

Post a Comment