Pages

Monday 1 April 2013

membela harga diri

"berkatalah sesukamu, karna diam bisa merupakan sebuah jawaban". kata imam al ghazali

Libur panjang baru saja usai. Kesalahan saya adalah menghajar diri dengan mangkuk-mangkuk es dan angin malam selama beberapa hari. Ini adalah hari kesekian dari "semester akhir", semester berjalan telah memasuki awal bulan April. Skripsi saya stuck ditempat yang sama sejak pertengahan bulan kemarin. Satu hari hanya dua kalimat yang berubah. Benar, moody bukan sebuah sifat yang baik. Banyak orang menganggap sifat tersebut menjadikan penderitanya kerap menunda-nunda, atau bahasa kerennya procrastination. Ditambah kondisi tubuh yang kembali drop, lengkaplah sudah excuse yang saya buat minggu ini. Mental seniman, tanpa mood yang baik, tak ada karya yang baik. 

Menunda menyelesaikan skripsi bisa dikatakan sebagai salah satu dosa besar seorang mahasiswa, selain jatuh cinta pada dosen separuh baya yang punya anak. Bisa semakin besar jika ternyata mahasiswa tersebut adalah anak pertama, minim pengalaman organisasi, tak ada pekerjaan sambilan, dan memiliki adik yang semestinya menjadikan kakak sebagai sosok panutan. Banyak cara untuk melarikan diri dari tanggungan seperti ini. Menciptakan alasan itu mudah, tapi memilih diam bukan sebuah hal yang sederhana. 

Dalam kondisi perut yang sedang lapar ini, saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa yang disebut zona nyaman itu? apakah sebuah tindakan mengesampingkan atau menomorduakan hal yang mendesak dapat disebut sebagai sebuah kondisi menciptakan zona nyaman? jika demikian, maka uang, kesibukan, pundak kekasih, bahkan perjalanan mencari eksistensi tentu "bisa saja" dikatakan sebagai zona nyaman, bukan begitu? ("bisa saja" di sini berarti syarat dan ketentuan berlaku.)

Banyak dari kita acapkali berteriak lantang menuntut hak hingga lupa pada kewajiban. Menyikapi hal ini bukankah dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seseorang manusia itu selalu menghendaki rasa aman dan nyaman? bukankah hal tersebut juga mendandakan bahwasannya tidak ada seorang manusia yang tak menghendaki berada dalam zona nyamannya?

Bagi saya, diam bukan menjadikan kita berada pada sebuah zona nyaman. Dengan diam, kita berpikir ulang, memaksa kita lebih kuat dari batu karang karna harus melawan keinginan-keinginan. Konon cobaan paling berat adalah melawan diri sendiri dan diam juga dapat dikatakan sebagai usaha untuk melawan keinginan-keinginan untuk melarikan diri. Tak pernah ada yang sederhana dalam sebuah "diam". Lihat saja kedahsyatan efeknya jika dilakukan kekasihmu.

Diam memaksa kita berkontemplasi. Tindakan tersebut membutuhkan keberanian yang konsisten. Melawan keinginan-keinginan yang semestinya berada di nomer dua, melawan ego, dan pada akhirnya memaksa kita melawan ketakutan-ketakutan. Kontemplasi tak pernah bisa terjadi saat suasana riuh. Tak ada ruang bedah yang berisik, begitu pula kondisi di goa Hiro, Gunung Sinai, Bukit zaitun, perut Paus, dan padang pasir yang tandus.

***

Rasanya tidak pantas, bahkan hanya untuk mencoba lari dari tanggung jawab yang seharusnya kita selesaikan. Di sepertiga malam seperti ini, saya juga berpikir, apa benar menyelesaikan skripsi itu cuma butuh konsistensi? lantas dari mana konsistensi itu bisa hadir? dari keinginan dihargai dengan titel dan selembar ijasah? dari omelan orang tua / kekasih? atau kita juga perlu sebuah inspirasi?

ya, kadang kita mudah sekali merasa terinspirasi, tapi inspirasi juga dapat bermetamorfosa menjadi noise dan distorsi atas segala kewajiban yang semestinya lebih dulu kita tuntaskan. Inspirasi harusnya menjadi booster untuk menuntaskan apa yang telah kita mula, bukan menjadikannya alasan untuk tidak konsisten terhadap apa yang seharusnya segera kita selesaikan. 

jika begitu adanya, maka konsistensi juga butuh keberanian dan hanya seorang pengecut yang tak bisa konsisten. Kalau makan saja masih dari keringat orang tua, maka selesaikan skripsimu kisana. 

"baiklah, skripsi ini akan saya sentuh lagi setelah saya masak indomie untuk sahur,, egh atau mungkin setelah subuhan deh baru saya kerjakan lagi."
dasar bebal.

No comments:

Post a Comment