Pages

Sunday 15 June 2014

Tembang dan Dakwah (bukan untuk eksis di instagram)

Pukul 23.30 seratusan orang telah memadati lapangan balai pemuda. Panggung telah didirikan dan acara pembuka selesai dipentaskan. Kelompok "tikar merah" turun dari panggung.

Tepat tadi malam, purnama akhirnya mampir di malam Minggu. Walaupun tidak bulat sempurna dan sebagian kecil kota Surabaya turun hujan. Forum bangbang wetan terselenggara cukup meriah. Tengah malam dengan cuaca kota yang cerah.

Di lapangan yang tak terlalu luas, Berdiri sebuah panggung dengan tenda yang tak terlalu besar memayungi sebagian alas terpal. Di bawah naungan tenda, sebagian besar pemuda-pemudi duduk dengan khusyuk. Yang tidak kebagian alas duduk, tak kurang akal dengan membawa koran-koran bekas dari rumah. Mirip seperti suasana sholat ied, namun jauh berbeda dari ceramah keagamaan yang dibawakan ustadz ustadzah kondang di tv. Agaknya acara ini bukan menyasar pantat-pantat gemuk berbaju takwa seharga ratusan ribu rupiah.

Sesekali asap rokok mengepul di udara. Tak banyak suara bising dan berisik seperti dalam konser-konser musik. Pedagang kopi dan air sebagian berkeliling atau berlalu lalang di pinggir kerumunan. Di belakang massa yang duduk bersila, satu-satunya stand buku dan pernak-pernik berdiri secara manunggal.

Moderator menanyai sebagian jamaah yang kebetulan diserahi sebuah mic. Sebagian orang yang kebetulan mendapat kesempatan bicara tersebut adalah pemuda-pemudi yang baru pertama kali menghadiri forum ini seperti saya. Mulanya saya memaknai hal tersebut sebagai upaya basa-basi. Tapi saat acara benar-benar dimulai, prasangka saya terbukti salah.

Kurang lebih pukul 00.00 yang ditunggu datang. Memakai busana sederhana dan jauh lebih merakyat dari baju kotak jokowew dan baju safari prabowew. Tanpa kopiah dan baju takwa yang seringkali dibuat lebih besar dari tubuh seorang bekas santri. Tak butuh waktu lama, seketika atmosfir di lapangan berubah.


***

Tikar Merah mengisi jeda dengan paragraf-paragraf sajak dan koreografi. Tembang-tembang purba mengalun. Alat musik modern dan tradisional mengiringi pentas untuk melebur satu. Tak lama, sebagian orang larut dan ikut bertepuk. Sebagian membisikkan Lafadz-lafadz illahi. Bagian kecil yang tertidur mengintip lalu terbangun. Sisanya duduk dalam hening. Bepetualang dengan penafsirannya masing-masing.

Asap mengepul di depan khalayak ramai. Tak hanya penonton, para lakon "Bintang dan Bulan" di panggung ini juga ikut membaur. Saya tak menyaksikan tamu yang disuguhi kotak-kotak makan khusus. Kopi, rokok, dan beberapa piring gorengan ternyata cukup. Forum diskusi tersebut berakhir dengan pertanyaan seputaran sunni, syiah, dan sebuah konspirasi yang entah ditunggangi siapa. 

Melalui acara ini, lebih banyak pelajaran hidup berharga yang bisa saya ambil daripada sekedar melihat 23 laki-laki di tengah lapangan berebut piala dunia. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan moderator saat awal acara dibabat habis. Mungkin digunakan untuk menjawab pertanyaan di benak sebagian besar orang-orang yang hadir di acara tersebut.

Benar saja, Pembicaraan bukan melulu soal syariat. Saya disuguhi dimensi lain, terutama soal identitas bangsa juga perihal islam yang rahmatan lil alamin.

"segoro itu sebuah dimensi, tapi gelombangnya adalah dimensi yang lain" - kata cak nun. 

***

Acara ditutup dengan Do'a-do'a dan sholawat untuk mengawal lahirnya hari baru. Pukul tiga pagi, parkiran kembali penuh. Sebagian orang kepanggung dan bersalaman dengan cak nun. Sebagian pulang dan tak ingin mengkultuskan sesuatu. Namun saya yakin masing-masing jiwa telah tersiram dengan caranya sendiri. 


No comments:

Post a Comment