23 september 2012. ali, ilham, dan saya sebagai penggembira seperti biasa.
Saya ingat betul hari itu. Hari di mana wajah orang yang pernah saya kenal tiba-tiba hadir memenuhi kepala.
"sudah, bilang saja sama bambang irawan, kalau dia gak mau nerima naskah skripsimu, urusannya bakal semakin panjang. kalau ada apa-apa, nanti biar ayah yang ngadepin! majuo!! aku nang mburimu!"
Saya ingat betul hari itu. Hari di mana wajah orang yang pernah saya kenal tiba-tiba hadir memenuhi kepala.
"sudah, bilang saja sama bambang irawan, kalau dia gak mau nerima naskah skripsimu, urusannya bakal semakin panjang. kalau ada apa-apa, nanti biar ayah yang ngadepin! majuo!! aku nang mburimu!"
malam itu ali bercerita kepada kami perihal seruan ayahnya tersebut.
Saya dan ilham lantas terbahak mendengarnya. Tawa saya yang paling keras
kala itu, tentu saja untuk memendam rasa iri yang begitu keparat
memenuhi dada.
Keberanian adalah Tema obrolan kami kali ini. Tentang bagaimana cara
orang tua menanamkan dogma-dogma kejantanan, dogma bahwa benar atau
salah adalah urusan Tuhan dan keberanian adalah soal gerbang di halaman
latar belakang.
benar saja, saya-pun langsung ingat padanya setelah sekian lama. Dia, yang hampir tidak saya ingat lagi seperti apa rupanya. Dia yang telah setahun ini hanya berupa nama yang terselipkan di awal-awal kalimat do'a, kenangan tentangnya tergeletak tak berdaya, entah ada di mana.
Lelaki yang pulang dengan senyum itu terlalu sebentar hadir dalam hidup saya. Wujudnya hanya hadir dua bulanan setiap tahun saat saya lahir hingga setinggi gitar klasik ukuran standard. 11 tahun bukan waktu yang ideal untuk mengajarkan saya apapun yang dia tau perihal hidup. Dia yang membesarkan saya dengan kasih sayang melalui serat optik dan bayang-bayang raksasa sebuah korporasi, atas nama cinta dan hidup layak hingga kini.
Dia memenuhi otak saya dengan empat dogma:
sepertinya dia lupa mengajari saya perihal
keberanian dan sedari kecil hingga sebesar ini, saya adalah lelaki
yang tidak pernah sekalipun melayangkan pukulan ke wajah seseorang sekalipun tangan saya haus sekali dengan darahnya. Waktu kecil,
saya hanya mampu mendendam dan menangis diam-diam. Baiknya adalah saya
tidak pernah memiliki catatan masalah kepribadian di raport sekolah.
Tapi buruknya, secara refleks saya jadi orang yang kerap menjauhi
masalah dan orang-orang yang berpotensi menimbulkan masalah. Hingga
malam itu, saya baru belajar, bahwa bagi seorang lelaki, masalah dan
kekalahan hanya boleh dijauhi untuk dimenangkan lagi lain kali, besok,
lusa, atau hari lain setelahnya dengan cara yang sama atau lebih
bergaya.
benar saja, saya-pun langsung ingat padanya setelah sekian lama. Dia, yang hampir tidak saya ingat lagi seperti apa rupanya. Dia yang telah setahun ini hanya berupa nama yang terselipkan di awal-awal kalimat do'a, kenangan tentangnya tergeletak tak berdaya, entah ada di mana.
Lelaki yang pulang dengan senyum itu terlalu sebentar hadir dalam hidup saya. Wujudnya hanya hadir dua bulanan setiap tahun saat saya lahir hingga setinggi gitar klasik ukuran standard. 11 tahun bukan waktu yang ideal untuk mengajarkan saya apapun yang dia tau perihal hidup. Dia yang membesarkan saya dengan kasih sayang melalui serat optik dan bayang-bayang raksasa sebuah korporasi, atas nama cinta dan hidup layak hingga kini.
Dia memenuhi otak saya dengan empat dogma:
- 1. Sekolah yang bener
- 2. Jaga bunda.
- 3. Jauhi masalah.
- 4. Jangan nakal.
that's it!
Selain itu semua, saya lebih sering teringat bagaimana mata coklat
lelaki itu dibayang-bayangi perasaan untuk minta dimaklumi juga
diperhatikan, keputus-asaan, dan kesepian. Ketegaran hanya
terucap secara lisan dan tulisan, ikhlas mau tidak mau dipaksakan hadir
perlahan. Saya hanya tau betapa luar biasa bunda menyayanginya, begitu
juga dia
pada bunda. Dia adalah veteran yang akrab dengan rindu pada rusuk yang
diambil sukarela darinya. Saya hanya tau betapa baik dan luar biasa
lucunya dia di mata bunda, kawan-kawan, dan saudara sekandungnya lewat
cerita yang terus berulang dan alur yang sama sejak wujudnya
berupa foto dan kenangan yang tersisa di kepala. Tuhan begitu
menakutkan bagi saya kala itu. Seperti diktator di era zorro dan robin
hood.
Tuhan telah melampiaskan rindunya padamu yah, dan mensubstitusinya pada saya dengan rindu yang membatu. Mungkin, rindu itu diciptakan untuk tidak pernah adil bagi kita. Saya rindu pada waktu yang diambil rindu tersebut dengan semena-mena. kelak kita akan bersepeda bersama lagi, yah. Kali ini kita akan berkeliling surga bersama adik juga bunda.
Ps: katakan pada Tuhan untuk memasang internet di surga. Biar kita bisa chatting atau berbalas komentar lewat mention. Sekarang adalah era social media. zaman, akan menggilas siapa saja yang tidak mengikuti trend, ah kenapa saya jadi menuhankan zaman? maaf.. "You're the Big Boss,, God"..
No comments:
Post a Comment