Pages

Sunday 30 September 2012

postcard dengan background pepohonan surga

23 september 2012. ali, ilham, dan saya sebagai penggembira seperti biasa.
Saya ingat betul hari itu. Hari di mana wajah orang yang pernah saya kenal tiba-tiba hadir memenuhi kepala. 

"sudah, bilang saja sama bambang irawan, kalau dia gak mau nerima naskah skripsimu, urusannya bakal semakin panjang. kalau ada apa-apa, nanti biar ayah yang ngadepin! majuo!! aku nang mburimu!"
malam itu ali bercerita kepada kami perihal seruan ayahnya tersebut. Saya dan ilham lantas terbahak mendengarnya. Tawa saya yang paling keras kala itu, tentu saja untuk memendam rasa iri yang begitu keparat memenuhi dada.
Keberanian adalah Tema obrolan kami kali ini. Tentang bagaimana cara orang tua menanamkan dogma-dogma kejantanan, dogma bahwa benar atau salah adalah urusan Tuhan dan keberanian adalah soal gerbang di halaman latar belakang.

benar saja, saya-pun langsung ingat padanya setelah sekian lama. Dia, yang hampir tidak saya ingat lagi seperti apa rupanya. Dia yang telah setahun ini hanya berupa nama yang terselipkan di awal-awal kalimat do'a, kenangan tentangnya tergeletak tak berdaya, entah ada di mana.

Lelaki yang pulang dengan senyum itu terlalu sebentar hadir dalam hidup saya. Wujudnya hanya hadir dua bulanan setiap tahun saat saya lahir hingga setinggi gitar klasik ukuran standard. 11 tahun bukan waktu yang ideal untuk mengajarkan saya apapun yang dia tau perihal hidup. Dia yang membesarkan saya dengan kasih sayang melalui serat optik dan bayang-bayang raksasa sebuah korporasi, atas nama cinta dan hidup layak hingga kini.

Dia memenuhi otak saya dengan empat dogma:
  • 1. Sekolah yang bener
  • 2. Jaga bunda.
  • 3. Jauhi masalah.
  • 4. Jangan nakal.
that's it! 
sepertinya dia lupa mengajari saya perihal keberanian dan sedari kecil hingga sebesar ini, saya adalah lelaki yang tidak pernah sekalipun melayangkan pukulan ke wajah seseorang sekalipun tangan saya haus sekali dengan darahnya. Waktu kecil, saya hanya mampu mendendam dan menangis diam-diam. Baiknya adalah saya tidak pernah memiliki catatan masalah kepribadian di raport sekolah. Tapi buruknya, secara refleks saya jadi orang yang kerap menjauhi masalah dan orang-orang yang berpotensi menimbulkan masalah. Hingga malam itu, saya baru belajar, bahwa bagi seorang lelaki, masalah dan kekalahan hanya boleh dijauhi untuk dimenangkan lagi lain kali, besok, lusa, atau hari lain setelahnya dengan cara yang sama atau lebih bergaya.
Selain itu semua, saya lebih sering teringat bagaimana mata coklat lelaki itu dibayang-bayangi perasaan untuk minta dimaklumi juga diperhatikan, keputus-asaan, dan kesepian. Ketegaran hanya  terucap secara lisan dan tulisan, ikhlas mau tidak mau dipaksakan hadir perlahan. Saya hanya tau betapa luar biasa bunda menyayanginya, begitu juga dia pada bunda. Dia adalah veteran yang akrab dengan rindu pada rusuk yang diambil sukarela darinya. Saya hanya tau betapa baik dan luar biasa lucunya dia di mata bunda, kawan-kawan, dan saudara sekandungnya lewat cerita yang terus berulang dan alur yang sama sejak wujudnya berupa foto dan kenangan yang tersisa di kepala. Tuhan begitu menakutkan bagi saya kala itu. Seperti diktator di era zorro dan robin hood.

Tuhan telah melampiaskan rindunya padamu yah, dan mensubstitusinya pada saya dengan rindu yang membatu. Mungkin, rindu itu diciptakan untuk tidak pernah adil bagi kita. Saya rindu pada waktu yang diambil rindu tersebut dengan semena-mena. kelak kita akan bersepeda bersama lagi, yah. Kali ini kita akan berkeliling surga bersama adik juga bunda.

Ps: katakan pada Tuhan untuk memasang internet di surga. Biar kita bisa chatting atau berbalas komentar lewat mention. Sekarang adalah era social media. zaman, akan menggilas siapa saja yang tidak mengikuti trend, ah kenapa saya jadi menuhankan zaman? maaf.. "You're the Big Boss,, God"..

No comments:

Post a Comment